Waru atau baru
(Hibiscus tiliaceus, suku kapas-kapasan atau Malvaceae), juga dikenal
sebagai waru laut telah lama dikenal sebagai pohon peneduh tepi jalan
atau tepi sungai dan pematang serta pantai. Walaupun tajuknya tidak terlalu
rimbun, waru disukai karena akarnya tidak dalam sehingga tidak merusak jalan
dan bangunan di sekitarnya. Waru dapat diperbanyak dengan distek.
Tumbuhan ini asli dari daerah tropika di Pasifik barat
namun sekarang tersebar luas di seluruh wilayah Pasifik dan dikenal dengan
berbagai nama: hau (bahasa Hawaii), purau (bahasa Tahiti), beach
Hibiscus, Tewalpin, Sea Hibiscus, atau Coastal Cottonwood
dalam bahasa Inggris.
Di Indonesia tumbuhan
ini memiliki banyak nama seperti: baru (Gayo, Belitung, Md., Mak., Sumba,
Hal.); baru dowongi (Ternate, Tidore); waru (Sd., Jw., Bal., Bug.,
Flores); haru, halu, faru, fanu (aneka bahasa di Maluku); dan lain-lain.[1]
Pohon kecil, tinggi 5–15 m. Di tanah yang subur tumbuh
lebih lurus dan dengan tajuk yang lebih sempit daripada di tanah gersang.[1]
Daun bertangkai, bundar atau bundar telur bentuk jantung
dengan tepi rata, garis tengah hingga 19 cm; bertulang daun menjari, sebagian
tulang daun utama dengan kelenjar pada pangkalnya di sisi bawah daun; sisi
bawah berambut abu-abu rapat. Daun penumpu bundar telur memanjang, 2,5 cm,
meninggalkan bekas berupa cincin di ujung ranting.[2]
Bunga berdiri sendiri atau dalam tandan berisi 2–5
kuntum. Daun kelopak tambahan bertaju 8–11, lebih dari separohnya berlekatan.
Kelopak sepanjang 2,5 cm, bercangap 5. Daun mahkota bentuk kipas, berkuku
pendek dan lebar, 5–7,5 cm, kuning, jingga, dan akhirnya kemerah-merahan,
dengan noda ungu pada pangkalnya. Buah kotak bentuk telur, berparuh pendek,
beruang 5 tak sempurna, membuka dengan 5 katup.[2] Jarak
pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan Rf atau hRf.
Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua
desimal, hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h) menghasilkan nilai
berjangka 0 sampai 100. Nilai Rf pada bunga waru sendiri sebesar 0,48.
- Hibiscus similis Bl. (waru gunung atau waru gombong) memiliki bentuk pohon, daun, bunga dan buah yang serupa dengan Hibiscus tiliaceus, dengan hanya sedikit perbedaan. Di antaranya, dengan kelenjar tulang daun yang lebih jauh dari pangkal; tangkai bunga yang sedikit lebih pendek; daun kelopak yang hanya melekat setengah jalan; dan biji yang berambut kasar.[2]
- Hibiscus macrophyllus Roxb. (tisuk atau waru lanang) memiliki bentuk pohon yang kurus tinggi, terutama ketika muda; berdaun jauh lebih lebar; dengan daun penumpu yang panjang
- Thespesia populnea Soland. juga disebut waru laut atau waru lot; memiliki daun seperti kulit yang tidak berbulu, melainkan bersisik coklat rapat, nampak jelas pada daun yang muda. Bunga serupa dengan bunga waru, namun tangkai putiknya tidak berbagi di ujungnya..[3]
·
Kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap
kondisi masin dan kering, juga terhadap kondisi tergenang. Tumbuhan ini tumbuh
baik di daerah panas dengan curah hujan 800 sampai 2.000 mm. Waru biasa ditemui
di pesisir pantai yang berpasir, hutan bakau, dan juga di wilayah riparian.
·
H. tiliaceus tumbuh alami di pantai-pantai Asia
Tenggara, Oceania dan Australia utara dan timur. Diintroduksi ke Australia
barat daya, Afrika bagian selatan, serta Hawaii; di mana menjadi liar di sana.
· Kegunaan
·
Kayu terasnya agak ringan, cukup padat, berstruktur cukup
halus, dan tak begitu keras; kelabu kebiruan, semu ungu atau coklat keunguan,
atau kehijau-hijauan. Liat dan awet bertahan dalam tanah, kayu waru ini biasa
digunakan sebagai bahan bangunan atau perahu, roda pedati, gagang perkakas,
ukiran, serta kayu bakar. Dari kulit batangnya, setelah direndam dan
dipukul-pukul, dapat diperoleh serat yang disebut lulup waru. Serat ini
sangat baik untuk dijadikan tali.[1]
·
Daunnya dapat dijadikan pakan ternak, atau yang muda,
dapat pula dijadikan sayuran. Daun yang diremas dan dilayukan digunakan untuk
mempercepat pematangan bisul. Daun muda yang diremas digunakan sebagai bahan
penyubur rambut. Daun muda yang direbus dengan gula batu dimanfaatkan untuk
melarutkan (mengencerkan) dahak pada sakit batuk yang agak berat. Kuncup
daunnya digunakan untuk mengobati berak darah dan berlendir pada anak-anak.[1]
·
Daunnya juga digunakan sebagai pembungkus ikan segar oleh
pedagang di pasar dan pedagang ikan keliling.
·
Bunga waru dapat dijadikan jam biologi. Bunganya mekar di
pagi hari dengan mahkota berwarna kuning. Di siang hari warnanya berubah jingga
dan sore hari menjadi merah, sebelum akhirnya gugur.
Legenda masyarakat penghuni Pulau Jawa menyatakan, kuntilanak menyukai
pohon waru yang tumbuh miring (waru doyong) sebagai tempat
bersemayamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar